0
Home  ›  Opini Umat  ›  Privatisasi Air

Privatisasi Air, Membuat Masyarakat Kelas Menengah Jatuh ke Garis Kemiskinan

Oleh: Rizqi Awal
Pengamat Kebijakan Publik 

 Dalam beberapa dekade terakhir, privatisasi air telah menjadi isu yang semakin mendesak di Indonesia. Ekonom senior Bambang Brodjonegoro mengatakan turunnya tingkat ekonomi kelas menengah di Indonesia tidak hanya terjadi karena pandemi Covid-19 dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Privatisasi Air, Membuat Masyarakat Kelas Menengah Jatuh ke Garis Kemiskinan

Dia mengatakan tekanan ekonomi warga kelas menengah juga muncul akibat kebiasaan sehari-hari seperti kebutuhan terhadap air kemasan, seperti galon. 

 "Selama ini secara tidak sadar itu sudah menggerus income kita secara lumayan dengan style kita yang mengandalkan semua kepada air galon, air botol dan segala macamnya," kata Bambang di kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dikutip Jumat, (30/8/2024). 

 Privatisasi Air: Sebuah Tinjauan Kritis 

 Privatisasi air, yang awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan, telah berubah menjadi bumerang bagi masyarakat. Air, yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar yang mudah diakses, kini menjadi komoditas mahal yang dikuasai oleh segelintir kapitalis. Akibatnya, masyarakat kelas menengah yang sebelumnya mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka tanpa kesulitan, kini harus mengeluarkan biaya tambahan hanya untuk mendapatkan air bersih. 

 Air Galon: Simbol Ketidakadilan Ekonomi

Kebiasaan konsumsi air galon di kalangan masyarakat kelas menengah bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan yang dipaksakan oleh keadaan. Pemerintah gagal menyediakan air bersih yang aman dan dapat diakses di tempat-tempat umum, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain membeli air galon². Hal ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk menyediakan layanan dasar bagi warganya. 

 Dampak Ekonomi dan Sosial 

 Biaya tambahan untuk membeli air galon setiap bulan dapat mencapai ratusan ribu rupiah, yang merupakan beban signifikan bagi keluarga kelas menengah. Dalam jangka panjang, pengeluaran ini dapat menggerus tabungan dan mengurangi daya beli, sehingga menurunkan kualitas hidup dan memperbesar risiko jatuh ke dalam kemiskinan. 

 Tentu, isu privatisasi air dan dampaknya pada masyarakat bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara lain juga menghadapi tantangan serupa: 

  1.  Afrika Selatan: Di Johannesburg, privatisasi air menyebabkan kenaikan tarif yang signifikan, sehingga banyak warga miskin tidak mampu membayar dan akhirnya kehilangan akses ke air bersih. 
  2. Amerika Serikat: Kota Flint, Michigan, menjadi contoh terkenal di mana privatisasi dan pengelolaan air yang buruk menyebabkan krisis air yang terkontaminasi timbal, berdampak pada kesehatan ribuan warga. 
  3. Prancis: Paris memutuskan untuk mengakhiri privatisasi air pada tahun 2010 setelah melihat bahwa pengelolaan oleh perusahaan swasta tidak memberikan manfaat yang diharapkan. Pemerintah kota mengambil alih kembali pengelolaan air untuk memastikan akses yang lebih adil dan harga yang lebih terjangkau. 
  4. Bolivia: Di Cochabamba, privatisasi air pada tahun 2000 memicu protes besar-besaran yang dikenal sebagai "Perang Air Cochabamba". Warga menolak kenaikan tarif yang drastis dan akhirnya berhasil mengembalikan pengelolaan air ke tangan publik. 

Dari contoh-contoh ini, terlihat bahwa privatisasi air sering kali membawa lebih banyak masalah daripada solusi, terutama bagi masyarakat kelas menengah dan bawah. Kebijakan yang lebih inklusif dan berfokus pada kesejahteraan publik sangat diperlukan untuk memastikan akses air bersih yang adil dan terjangkau. 

Islam memandang privatisasi air  

Dalam pandangan Islam, air adalah salah satu sumber daya alam yang harus dikelola dengan adil dan bertanggung jawab. Air dianggap sebagai hak dasar setiap manusia dan tidak boleh diprivatisasi atau dimonopoli oleh segelintir pihak untuk keuntungan pribadi.  

Dalam Islam, air termasuk dalam kategori barang milik umum yang tidak boleh dimiliki secara pribadi. Rasulullah SAW bersabda: 

“Manusia berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud) 

Paradigma kapitalisme yang melihat air sebagai barang ekonomi adalah pandangan yang sangat keliru. Kapitalisme mengedepankan manfaat semata, bukan hakikat esensial suatu hal, termasuk dalam melihat posisi air. Padahal, dalam Islam, air telah ditetapkan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara, bukan hanya sebagai komoditas. 

Ketidakmampuan dalam penyediaan air berdampak serius pada kesehatan, bahkan bisa mengancam nyawa manusia. Meski individu dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sumber air tetap merupakan urusan bersama yang bersifat komunal, di mana akses dan pengelolaannya melibatkan seluruh masyarakat. 

Di sinilah peran negara sangat penting. Negara harus hadir untuk mengatur dan menjamin ketersediaan air bagi seluruh rakyatnya.

Sumber air tidak boleh diprivatisasi, karena jika dikuasai oleh swasta, akses masyarakat terhadap air dapat terhalang. Negara wajib mengelola sumber daya air demi kepentingan umum dan memastikan bahwa setiap individu dapat menikmati air secara gratis. 

Negara tidak boleh lepas tangan dalam mengurus air, baik dari segi pengambilan, distribusi, maupun kebersihan dan keamanannya. Tanggung jawab ini didasarkan pada prinsip “ma laa yatimmu al-wajibu illa bihi fa huwa wajib”—sesuatu yang menjadi syarat bagi terlaksananya kewajiban maka wajib pula disediakan. Air menjadi syarat bagi berbagai kewajiban, sehingga penyediaannya adalah keharusan. 

Negara yang mampu memenuhi kebutuhan air rakyatnya adalah negara yang berfungsi sebagai raa’in—pengurus dan penanggung jawab, bukan sebagai pedagang seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Setiap individu harusnya memiliki hak untuk mengakses air, bahkan secara gratis, baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk mendukung usaha dan bisnisnya. 

Dalam Islam, air memiliki makna yang sangat penting karena terkait dengan pelaksanaan berbagai hukum, seperti taharah (bersuci). Air dipandang sebagai kepemilikan umum yang tidak boleh dimonopoli oleh segelintir orang. Jika dikuasai oleh pihak tertentu, akses masyarakat secara luas terhadap air dapat terhambat. 

 Sejak zaman kekhalifahan Islam, pengelolaan air sudah sangat teratur. Negara menjaga stabilitas suplai air, melindungi konservasi alam, memastikan sanitasi yang baik, hingga menyusun program pengelolaan air yang komprehensif. Negara bahkan merancang strategi besar yang terintegrasi agar ketersediaan air tetap terjamin dalam kuantitas dan kualitas yang layak. 

Negara juga akan mendirikan industri air bersih agar kebutuhan setiap individu dapat terpenuhi kapan pun dan di mana pun. Status kepemilikan air ini adalah milik umum atau milik negara yang dikelola untuk kemaslahatan seluruh umat. 

Di sisi lain, negara akan memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi, memberdayakan para ahli di berbagai bidang seperti ekologi, hidrologi, teknik kimia, dan kesehatan lingkungan, untuk memastikan pengelolaan air yang optimal. 

Dengan demikian, solusi yang tepat untuk mengatasi krisis air adalah dengan menerapkan sistem pengelolaan air berdasarkan aturan Sang Maha Pengatur. Mulai dari manajemen sumber daya air, distribusi yang merata, penggunaan teknologi mutakhir, pelayanan berkelanjutan, hingga pengembangan sumber daya manusia yang kompeten. Semua ini harus diterapkan secara menyeluruh dan komprehensif demi kebaikan bersama.

Posting Komentar
Cari
Menu
Warna
Bagikan
Additional JS