0
Home  ›  Opini Umat  ›  Oposisi

𝐉𝐢𝐤𝐚 𝐒𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐏𝐚𝐫𝐭𝐚𝐢 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦 𝐏𝐫𝐨 𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡, 𝐋𝐚𝐧𝐭𝐚𝐬 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐊𝐞𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐒𝐮𝐚𝐫𝐚 𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐬 𝐔𝐦𝐚𝐭 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦?

𝐀𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐅𝐏𝐈 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐓𝐈 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐤𝐞 𝐏𝐚𝐫𝐥𝐞𝐦𝐞𝐧 𝐉𝐚𝐝𝐢 𝐎𝐩𝐨𝐬𝐢𝐬𝐢?

Saat ini, partai-partai Islam yang ada di Indonesia telah bergabung dengan koalisi pemerintah, yang dikenal dengan nama KIM Plus. Partai seperti PAN, PKB, PBB, PPP, dan bahkan PKS, yang sebelumnya dikenal kritis, kini telah menjadi bagian dari koalisi pendukung pemerintah. 

𝐉𝐢𝐤𝐚 𝐒𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐏𝐚𝐫𝐭𝐚𝐢 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦 𝐏𝐫𝐨 𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡, 𝐋𝐚𝐧𝐭𝐚𝐬 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐊𝐞𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐒𝐮𝐚𝐫𝐚 𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐬 𝐔𝐦𝐚𝐭 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦?

Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar tentang siapa yang akan menampung aspirasi kritis umat Islam di masa mendatang. 

Dengan partai-partai Islam yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan kini bergabung dengan pemerintah, suara kritis umat tampaknya kehilangan saluran yang semestinya.

Padahal, partai-partai Islam diharapkan menjadi garda depan dalam menyalurkan aspirasi masyarakat yang menginginkan keadilan dan perubahan. 

Ketika mereka menjadi bagian dari kekuasaan, kekuatan kritik mereka bisa saja meredup atau bahkan menghilang. Ini membuat umat Islam yang merasa aspirasinya tidak terwakili harus mencari alternatif lain. 

Ketidakmampuan partai-partai Islam untuk tetap independen dalam memberikan kritik kepada pemerintah mengkhawatirkan, karena ini bisa membuat suara masyarakat yang membutuhkan perubahan tidak lagi terdengar.

𝐀𝐧𝐢𝐞𝐬 𝐁𝐚𝐬𝐰𝐞𝐝𝐚𝐧: 𝐇𝐚𝐫𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐚𝐧𝐝𝐚𝐬

Banyak umat Islam yang awalnya menaruh harapan pada sosok Anies Baswedan sebagai figur yang bisa membawa aspirasi kritis mereka. Anies dikenal sebagai sosok yang mampu menyuarakan kepentingan umat dan menjadi simbol perubahan. 

Namun, serangkaian kegagalan yang dialami Anies, baik dalam pemilihan presiden maupun dalam pencalonan sebagai gubernur Jakarta, telah menghilangkan harapan tersebut. 

Ada spekulasi bahwa kekuatan politik tertentu sengaja menjegal langkah Anies, tetapi yang pasti adalah bahwa peluangnya untuk menjadi wakil dari suara kritis umat Islam telah memudar.

Dengan kegagalan Anies, umat Islam kini menghadapi dilema besar: ke mana mereka harus menyalurkan suara kritis mereka? Anies yang diharapkan menjadi juru bicara bagi aspirasi umat kini tidak lagi berada di panggung politik utama. 

Ini membuat banyak orang bertanya-tanya apakah masih ada sosok lain yang mampu mengisi kekosongan tersebut. Ketidakjelasan ini menambah kebingungan di kalangan umat Islam yang menginginkan perubahan nyata di tengah situasi politik yang semakin tidak menentu.

𝐅𝐏𝐈 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐓𝐈: 𝐀𝐥𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐭𝐢𝐟 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐉𝐚𝐝𝐢 𝐎𝐩𝐨𝐬𝐢𝐬𝐢?

FPI dan HTI sering kali dilihat sebagai kelompok yang keras dalam menyuarakan kritik terhadap pemerintah. FPI, yang dikenal dengan sikapnya yang tegas, telah membuat keputusan dalam pilpres terakhir dengan tidak mendukung salah satu pasangan calon. 

Langkah ini menunjukkan sikap independen mereka, yang berbeda dari ekspektasi banyak pihak yang mengira FPI akan mendukung pasangan Anies-Muhaimin. 

Keputusan ini mungkin merupakan refleksi dari kekecewaan mereka terhadap pilihan yang ada, dan keinginan untuk menjaga integritas perjuangan mereka.

Di sisi lain, HTI yang sejak awal menolak sistem demokrasi, tetap konsisten dengan sikapnya untuk tidak terlibat dalam politik formal. 

Mereka percaya bahwa perubahan sejati hanya bisa terjadi dengan penerapan Syariah Islam di bawah naungan Khilafah, bukan melalui sistem demokrasi yang mereka anggap tidak sesuai dengan prinsip Islam. 

Dengan pandangan seperti ini, HTI tampaknya tidak akan pernah menjadi oposisi formal di parlemen, melainkan akan terus berjuang dari luar sistem yang ada.

Sehingga, sejauh ini bisa disimpulkan bahwa baik FPI maupun HTI, keduanya tidak akan terlibat dalam politik praktis di bawah demokrasi. Artinya, Umat Islam tidak bisa memaksa keduanya untuk menjadi oposisi di parlemen walaupun akan mendapatkan dukungan penuh.

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐮𝐛𝐚𝐡 𝐒𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐋𝐮𝐚𝐫?

Selama bertahun-tahun, ada argumen bahwa perubahan bisa dilakukan dari dalam sistem politik yang ada. PKS, misalnya, pernah mengusung ide ini dengan berusaha untuk menjadi kekuatan pengubah dari dalam pemerintahan. 

Namun, kenyataannya, bahkan PKS kini telah bergabung dengan KIM Plus, menunjukkan bahwa sistem yang ada jauh lebih kuat daripada kemampuan mereka untuk mengubahnya. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang relevansi strategi mereka di masa depan.

Dengan tidak adanya partai Islam yang berada di luar pemerintahan, umat Islam kini menghadapi dilema besar mengenai ke mana mereka harus menyalurkan suara kritis mereka. 

Partai-partai Islam yang ada telah menjadi bagian dari kekuasaan, dan ini membuat banyak orang khawatir bahwa tidak ada lagi yang bisa menyuarakan kritik dengan tegas. 

Kondisi ini membuat pertanyaan penting muncul: apakah masih ada harapan untuk menyuarakan kritik melalui jalur formal, atau apakah sudah saatnya umat Islam mencari cara lain untuk menyampaikan aspirasi mereka?

𝐊𝐞𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐒𝐮𝐚𝐫𝐚 𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐬 𝐔𝐦𝐚𝐭 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐤𝐚𝐧 𝐃𝐢𝐬𝐚𝐥𝐮𝐫𝐤𝐚𝐧?

Ketiadaan penyalur suara kritis dari kalangan partai Islam di parlemen membuat banyak pihak merasa bahwa perjuangan harus dialihkan ke jalur non-formal atau bahkan di luar sistem yang ada.

Ini bisa berarti umat harus mendukung FPI dan HTI yang memilih untuk tetap berada di luar sistem politik formal. Dengan demikian, suara kritis umat Islam tidak akan mati, melainkan akan menemukan cara baru untuk tetap terdengar dan relevan di tengah dinamika politik yang ada.

Ya, mungkin sekarang sudah saatnya umat Islam mempertimbangkan pendekatan yang berbeda, yaitu mengubah sistem dari luar. 

Pendekatan ini, yang sering dilontarkan oleh HTI, mengusulkan bahwa satu-satunya cara untuk menciptakan perubahan yang signifikan adalah dengan membangun sistem yang baru, bukan dengan mencoba memperbaiki yang lama dari dalam. 

Meskipun ini adalah langkah yang lebih out of the box, tapi sekarang semakin banyak orang yang mulai melihatnya sebagai satu-satunya solusi yang mungkin dalam menghadapi situasi politik yang semakin kompleks.

𝐖𝐚𝐤𝐭𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐁𝐞𝐫𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫 𝐔𝐥𝐚𝐧𝐠: 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐒𝐲𝐚𝐫𝐢𝐚𝐡 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐀𝐭𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚?

Dengan semakin sulitnya menyuarakan kritik dalam sistem politik yang ada, beberapa pihak mulai mempertanyakan, apakah sudah saatnya umat Islam untuk mempertimbangkan Syariah Islam sebagai dasar negara? 

Jika sistem demokrasi yang ada terus menutup pintu bagi suara kritis, maka perubahan besar hanya bisa terjadi melalui pendekatan yang lebih fundamental. Ini bukan hanya tentang mengganti pemain di panggung politik, tetapi tentang merombak panggung itu sendiri.

Ide ini berpendapat bahwa perjuangan untuk menegakkan Syariah Islam sebagai aturan negara adalah langkah yang logis jika sistem yang ada terus-menerus gagal memberikan ruang bagi aspirasi umat. 

Sehingga, daripada mendorong FPI dan HTI untuk terlibat dalam politik formal, mungkin lebih bijak untuk mendukung mereka dalam upaya mengubah sistem dari luar. Ini bisa menjadi langkah pertama menuju perubahan yang lebih besar dan lebih berarti bagi umat Islam di Indonesia.

Bagaimana?


- M. Syam
- Penulis Lepas

Posting Komentar
Cari
Menu
Warna
Bagikan
Additional JS