0
Home  ›  Opini Umat

Jangan Salah Paham, Benarkah Paus Pro L6-BT-Q+?

Baru-baru ini, Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi umat Katolik, melakukan kunjungan bersejarah ke Indonesia untuk memimpin Misa di Gelora Bung Karno, Jakarta. Acara tersebut disiarkan langsung di berbagai saluran televisi nasional. 

Jangan Salah Paham, Benarkah Paus Pro L6-BT-Q+?

Namun, kunjungan ini cukup menyita perhatian kaum Muslim lantaran Paus pernah menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah tindakan kejahatan, meskipun ia tetap menganggapnya sebagai dosa. Lalu, apakah Paus Pro dengan 𝐋𝟔-𝐁𝐓-𝐐+?

𝐏𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐮𝐬 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐋𝟔-𝐁𝐓-𝐐+?

Paus Fransiskus, dalam beberapa kesempatan, telah menyatakan bahwa meskipun homoseksualitas adalah dosa, hal itu bukanlah kejahatan. Baginya, undang-undang yang mengkriminalisasi homoseksualitas adalah tidak adil dan tidak seharusnya diterapkan. 

Paus berargumen bahwa negara tidak berhak menghukum perilaku individu yang berkaitan dengan orientasi seksual karena hal tersebut adalah urusan pribadi. Dalam pandangan yang lebih liberal, tindakan homoseksual tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum negara.

Namun, pernyataan Paus yang menolak untuk menganggap homoseksualitas sebagai kejahatan bukanlah suatu yang mengejutkan. Terutama, dalam konteks nilai-nilai liberal yang dianut oleh banyak negara di dunia.

Walaupun begitu, dalam pandangan Paus, homoseksualitas tetap dipandang sebagai dosa. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara hukum negara yang bersifat sekuler dan pandangan agama tertentu tentang perilaku moral.

Sehingga, jika Paus menganggap homoseksualitas bukanlah tindakan kejahatan, maka itu sah-sah saja bagi dirinya.

𝐁𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐏𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦?

Jika dilihat dari perspektif Islam, pernyataan Paus Fransiskus itu jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dalam Islam, kejahatan didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap aturan syariah, dan pelanggaran tersebut dikenai hukuman. Seorang pelaku homoseksual, dalam Islam, tidak hanya dianggap berdosa, tetapi juga melakukan kejahatan yang melanggar syariat.

Sebagaimana dalam kasus mencuri atau zina, pelanggaran ini dianggap sebagai kejahatan yang layak dihukum sesuai ketentuan syariah. Pelaku zina, misalnya, dikenai hukuman rajam atau cambuk, tergantung statusnya apakah Muhson atau Ghaira Muhson. 

Demikian pula, ulama sepakat bahwa para pelaku 𝐋𝟔-𝐁𝐓-𝐐+ juga harus dikenai sanksi berat, meskipun metode eksekusinya bisa berbeda-beda. Beberapa ulama menyarankan hukuman rajam, dibakar, atau dijatuhkan dari tempat tinggi.

𝐇𝐮𝐤𝐮𝐦𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦 𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐁𝐢𝐬𝐚 𝐃𝐢𝐭𝐞𝐫𝐚𝐩𝐤𝐚𝐧

Namun, penerapan hukum Islam yang tegas seperti itu tidak bisa diterapkan. Saat ini, tidak ada negara yang mengadopsi hukum Islam secara penuh sebagai dasar negara. Sistem hukum di banyak negara, termasuk Indonesia, berasaskan pada prinsip-prinsip demokrasi dan sekularisme, yang menjamin kebebasan individu, termasuk dalam hal orientasi seksual. 

Hal ini berbeda dengan negara yang menjadikan syariah Islam sebagai hukum negara, di mana hukum-hukum Islam dapat diterapkan secara penuh, termasuk untuk pelaku kejahatan seperti 𝐋𝟔-𝐁𝐓-𝐐+.

Islam memiliki aturan yang jelas mengenai perilaku seksual yang menyimpang dari syariat, dan hukuman untuk para pelanggar juga sangat ketat. Namun, untuk menerapkan hukuman-hukuman tersebut, dibutuhkan negara yang mengadopsi syariah Islam secara penuh, yang sayangnya tidak dapat dijalankan di dalam sistem demokrasi.

Sistem demokrasi dan republik yang berlaku di Indonesia tidak memungkinkan hukum Islam diberlakukan secara total. 

Oleh karena itu, diperlukan sebuah negara yang menganut sistem Islam untuk bisa menerapkan hukum-hukum dari Al-Qur'an dan Hadis, yang mencakup hukuman bagi para pelanggar syariat. Dengan demikian, hanya negara yang berdasar pada syariah Islam yang mampu menerapkan hukuman sesuai dengan aturan agama bagi pelaku kejahatan dalam perspektif Islam.

Apalagi, negara itu adalah 𝐊𝐡𝐢𝐥𝐚𝐟𝐚𝐡.

.

𝑴. 𝑺𝒚𝒂𝒎
𝑷𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔 𝑳𝒆𝒑𝒂𝒔

Posting Komentar
Cari
Menu
Warna
Bagikan
Additional JS