JUAL BELI EMAS VIA ATM BSI
"Bolehkah jual beli emas via ATM BSI (Bank Syariah Indonesia). Mohon penjelasannya"
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Assalamu alaikum. Ustadz, taqabbalallahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir bathin. Maaf saya dapat kiriman pertanyaan ini dari Hanif, anak saya, mengenai bolehkah jual beli emas via ATM BSI (Bank Syariah Indonesia). Mohon penjelasannya, Ustadz. (Vetiana, Bandung).
Jawab :
Wa alaikumus salam wr wb. Taqabbalallahu minna wa minkum
Sebelumnya perlu kita pahami dulu bagaimanakah mekanisme jual beli emas di ATM BSI, barulah akan dijelaskan hukumnya secara syariah. Proses pemahaman fakta ini harus ada terlebih dahulu, sebelum proses pemberian fatwa syariah terhadap fakta yang ada tersebut.
Kaidah fiqih dalam masalah ini menjelaskan :
الْحُكْمُ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
Al-Hukmu ‘Alā Al-Syai`i Far’un ‘an Tashawwurihi. Artinya,“Hukum syara’ untuk sesuatu, merupakan cabang (langkah berikutnya) dari (langkah pertama, yaitu) gambaran (pemahaman) terhadap fakta itu.” (Wahbah Al-Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, Juz I, hlm. 646).
Fakta Mekanisme Jual Beli Emas Di ATM BSI
Dari situs-situs internet yang terkait dengan jual beli emas di ATM BSI, dijelaskan mekanismenya sebagai berikut :
Mekanisme jual beli emas di ATM BSI terdiri dari dua mekanisme pokok, yaitu (1) membeli emas digital melalui aplikasi BYOND by BSI, dan (2) mencetak emas batangan di ATM BSI. Jadi, emas yang sebelumnya telah dibeli oleh nasabah dan disimpan secara digital di BSI, dapat dicetak di ATM BSI menjadi emas batangan dengan barcode yang muncul di aplikasi BYOND by BSI.
Berikut adalah dua mekanisme tersebut lebih detail :
1. Pembelian Emas Digital:
- Nasabah membeli emas digital melalui aplikasi BYOND by BSI.
- Pembelian dapat dilakukan mulai dari 0,1 gram.
- Dana untuk pembelian berasal dari rekening tabungan BSI yang terdaftar di aplikasi.
- Harga emas mengikuti harga yang tertera di tampilan beranda e-mas di BSI Mobile.
- Jika nasabah memiliki NPWP terverifikasi dan transaksi melebihi Rp 10 juta, dikenakan pajak PPH 22 sebesar 1,5%.
2. Pencetakan Emas Batangan:
- Setelah membeli emas digital, nasabah dapat mencetak emasnya menjadi batangan.
- Pencetakan dilakukan di ATM BSI yang menyediakan layanan ini.
- Nasabah menunjukkan barcode yang muncul di aplikasi BYOND by BSI di ATM.
- ATM akan mencetak emas batangan sesuai dengan gramase yang dimiliki oleh nasabah.
- Emas batangan yang dicetak sesuai dengan standar SNI dengan karatase 99,99% (emas murni).
Namun sebelum seorang nasabah mencetak emas batangan di ATM BSI sesuai mekanisme tersebut, dia harus terlebih dulu melakukan pembelian emas digital melalui aplikasi BYOND by BSI. Mekanisme detail pembelian emas digital melalui aplikasi BYOND by BSI, secara detail adalah sebagai berikut:
Nasabah membuka aplikasi BYOND by BSI tersebut, lalu pilih "Portofolio", lalu pilih "E-mas" dan "Beli Emas". Kemudian, masukkan jumlah emas yang diinginkan, konfirmasi transaksi, masukkan PIN, dan transaksi akan berhasil.
- Buka aplikasi BYOND by BSI: Pastikan aplikasi BYOND by BSI sudah terinstal dan login dengan akun BSI Mobile Anda.
- Pilih "Portofolio": Di bagian bawah aplikasi, pilih menu "Portofolio".
- Pilih "E-mas": Kemudian pilih opsi "E-mas".
- Pilih "Beli Emas": Selanjutnya, pilih opsi "Beli Emas".
- Masukkan jumlah emas: Tentukan jumlah emas yang ingin dibeli, baik berdasarkan nominal atau gramase.
- Konfirmasi transaksi: Periksa kembali detail transaksi dan konfirmasi jumlahnya.
- Masukkan PIN: Masukkan PIN BYOND by BSI Anda untuk memverifikasi transaksi.
- Transaksi berhasil: Jika semua langkah diikuti dengan benar, transaksi pembelian emas digital akan berhasil.
Hukum Jual Beli Emas Di ATM BSI
Dari deskripsi fakta di atas, yaitu fakta mekanisme Mekanisme Jual Beli Emas Di ATM BSI, terdapat 2 (dua) mekanisme pokok, yaitu :
Pertama, mekanisme pembelian emas digital. Mekanisme ini terjadi secara online.
Kedua, mekanisme pencetakan emas batangan di ATM BSI. Mekanisme ini terjadi secara offline, yaitu nasabah langsung mendatangi ATM BSI, setelah sebelumnya melakukan mekanisme online untuk membeli emas secara digital melalui aplikasi BYOND by BSI.
Poin kritisnya adalah pada mekanisme yang pertama, yaitu jual beli emas secara digital melalui aplikasi BYOND by BSI ini. Bolehkah dilakukan akad jual-neli emas secara online seperti ini, yang di dalamnya tidak terjadi serah terima emasnya secara tunai, melainkan terjadi penundaan?
Jawabannya adalah, menurut jumhur ulama, jual beli emas secara online seperti melalui aplikasi BYOND by BSI atau melalui aplikasi-aplikasi online lainnya yang sejenis, adalah haram atau tidak diperbolehkan secara syariah. Mengapa? Karena tidak terjadi "yadan bi yadin" atau serah terima emas secara tunai di majelis akad (al-taqābudh fī majlis al-‘aqad), ketika nasabah membeli emas digital lewat aplikasi online BYOND by BSI, atau aplikasi-aplikasi sejenis.
Faktanya, nasabah yang membeli emas melalui aplikasi online khusus bernama BYOND by BSI, meskipun dia melakukan pembayaran secara online, tetapi dia tidak menerima emasnya saat itu juga dari penjual (BSI). Jadi meskipun dari pihak pembeli pembayaran emas di lakukan secara tunai dalam majelis akad, tetapi terjadi penundaan (delay) dalam penyerahan emasnya oleh pihak BSI selaku penjual emas.
Dengan demikian, jelaslah tidak terjadi "yadan bi yadin" (serah terima secara tunai di satu majelis akad yang sama), atau istilah Arab-nya al-taqābudh fī majlis al-‘aqad, dalam jual beli via emas via ATM BSI tersebut. Maka hukumnya haram tanpa ada keraguan, karena jual beli emas tidak tunai hukumnya haram. Dalil wajibnya "yadan bi yadin" (serah terima secara tunai di satu majelis akad), dalam jual beli emas, adalah hadits ‘Ubadah bin Shamit RA berikut ini :
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ رضى الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ, وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ, وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ, وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ, وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ, وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ, مِثْلًا بِمِثْلٍ, سَوَاءً بِسَوَاءٍ, يَدًا بِيَدٍ, فَإِذَا اِخْتَلَفَتْ هَذِهِ اَلْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari ‘Ubādah bin al-Shāmit bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, jewawut ditukar dengan jewawut, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, harus semisal dan harus sama (dalam hal beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan/tunai di majelis akad). Kemudian jika yang dipertukarkan itu berbeda jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan tetap dari tangan ke tangan (kontan/tunai di majelis akad).” (HR. Muslim, no. 1587).
Hadits di atas menunjukkan bahwa :
لَا يَجُوزُ بَيْعُ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ أَوْ بِالْفِضَّةِ أَوْ بِمَا يَقُْوْمُ مَقَامَهُمَا مِنَ الْوَرِقِ النَّقْدِيِّ إِلَّا إِذَا تَمَّ التَّقَابُضُ فِي مَجْلِسِ الْعَقْدِ
“Tidak boleh menjual menjual emas dengan emas, atau dengan perak, atau dengan sesuatu yang menggantikan kedudukan emas dan perak yaitu uang kertas (fiat money), kecuali jika terjadi serah terima di majelis akad (al-taqābudh fī majlis al-‘aqad).”
(https://islamqa.info/ar/answers/150841/لا-يجوز-بيع-الذهب-بالنقود-مع-تاجيل-الثمن)
Dengan demikian, jelaslah bahwa mekanisme pembelian emas digital, yang terjadi secara online, hukumnya adalah haram atau tidak diperbolehkan secara syariah. Maka atas dasar itu, mekanisme selanjutnya yang berupa mekanisme pencetakan emas batangan di ATM BSI yang terjadi secara offline, hukumnya juga haram, karena mekanisme offline di ATM BSI ini, hukumnya didasarkan atas mekanisme sebelumnya yang haram.
Kaidah fiqih yang terkait dengan masalah ini menyebutkan :
إِذَا سَقَطَ الْأَصْلُ سَقَطَ الْفَرْعُ
Idza saqatha al-ashlu saqatha al-far’u. Artinya, jika perkara pokok sudah gugur (tidak sah/haram/batil), maka gugur pula perkara yang menjadi cabangnya. (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 1/ 271).
Jadi, pendapat yang rājih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama bahwa jula beli emas secara tidak tunai, tidak diperbolehkan. Kami menyayangkan mengapa BSI mengambil fatwa yang lemah (marjūh) yang membolehkan jual beli emas secara online, alias tidak tunai, sesuai Fatwa DSN MUI No. 77/DSN-MUI/VI/2010.
Padahal kaidah ushuliyyah terkait pengamalan pendapat yang rājih (lebih kuat), menegaskan :
يَجِبُ الْعَمَلُ بِالرَّاجِحِ
Yajibu al-‘amalu bi al-rājih. Artinya,“Wajib hukumnya mengamalkan pendapat yang rājih (lebih kuat).” (‘Abdul Karīm Al-Namlah, Al-Jāmi’ li Masā`il Ushūl al-Fiqh wa Tathbīqātuhā ‘Alā Al-Madzāhib Al-Rājih, hlm. 418).
Fatwa DSN MUI No. 77/DSN-MUI/VI/2010 tersebut menetapkan bahwa jika emas itu berupa komoditi, seperti emas perhiasan, emas lantakan, dsb, maka emas itu boleh dijualbelikan secara tidak tunai, misalnya dijual secara cicilan atau tempo, seperti halnya komoditi lainnya yang boleh dijualbelikan secara tidak tunai, semisal beras atau gula atau pakaian. Sedang jika emas itu berupa alat tukar, yaitu uang emas (koin dinar), maka barulah tidak diperbolehkan dijualbelikan, kecuali secara tunai.
Fatwa DSN MUI No. 77 ini lemah secara tarjih (marjūh) karena bertentangan dengan fatwa jumhur ulama yang kami rājih-kan, yang tidak membolehkan jual beli emas, kecuali secara tunai (yadan biyadin), baik emas itu berkedudukan sebagai komoditi maupun sebagai mata uang. Yang dimaksud jumhur ulama, adalah mayoritas ulama berbagai mazhab, seperti ulama dari empat mazhab fiqih dalam Islam, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali.
Pembedaan hukum atas dasar kedudukan emas sebagai komoditi atau alat tukar, merupakan pembedaan yang tidak dapat diterima, dengan dua alasan sebagai berikut :
Pertama, karena terdapat dalil syar’i, bahwa emas itu tidak boleh dijualbelikan kecuali secara tunai, baik emas itu berkedudukan sebagai mata uang maupun sebagai alat tukar. Dalilnya adalah keumuman kata “emas” (al-dzahab) yang meliputi emas sebagai alat tukar dan emas sebagai komoditi, sebagaimana hadits ‘Ubadah bin Shamit RA berikut ini :
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ رضى الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم : اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ, وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ, وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ, وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ, وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ, وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ, مِثْلًا بِمِثْلٍ, سَوَاءً بِسَوَاءٍ, يَدًا بِيَدٍ, فَإِذَا اِخْتَلَفَتْ هَذِهِ اَلْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari ‘Ubādah bin al-Shāmit RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, jewawut ditukar dengan jewawut, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, harus semisal dan harus sama (dalam hal beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan/tunai di majelis akad). Kemudian jika yang dipertukarkan itu berbeda jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan tetap dari tangan ke tangan (kontan/tunai di majelis akad).” (HR. Muslim, no. 1587).
Kata “emas” (al-dzahab) dalam hadits di atas, adalah kata (lafazh) umum, sehingga mencakup emas dalam segala bentuknya, termasuk emas sebagai komoditi (seperti perhiasan emas, atau emas lantakan), ataupun emas sebagai alat tukar (koin dinar emas). Imam Syaukani mensyarah hadits di atas dengan mengatakan :
قَوْلُهُ: (الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ) يَدْخُلُ فِي الذَّهَبِ جَمِيعُ أَنْوَاعِهِ مِنْ مَشْرُوبٍ وَمَنْقُوشٍ وَجَيِّدٍ وَرَدِيءٍ وَصَحِيحٍ وَمُكَسَّرٍ وَحُلِيٍّ وَتَبَرٍ وَخَالِصٍ وَمَغْشُوشٍ
“Sabda Nabi SAW yang berbunyi,’emas dengan emas’ (al-dzahab bi al-dzahab), termasuk ke dalam kata emas ini, adalah segala bentuk emas, yaitu : emas cair, emas ukir, emas baik, emas buruk, emas utuh, emas pecah, emas perhiasan, bijih emas, emas murni, dan emas campuran (emas yang dicampur dengan logam lain).” (Imam Syaukani, Nailul Authār, Juz V, hlm. 226).
Kedua, karena bertentangan dengan nash hadits shahih yang justru menjelaskan bahwa dalam jual beli perhiasan emas, tetap berlaku persyaratan umum dalam jual beli emas, yaitu wajib sama beratnya (waznan bi waznin), atau mistlan bi mitslin. Hal ini menunjukkan bahwa perhiasan emas sama hukumnya dengan dinar emas. Dengan kata lain, emas sebagai komoditi dan emas sebagai alat tukar, sama hukumnya, bukan berbeda hukum.
Hadits yang dimaksud adalah hadits shahih riwayat Imam Muslim sbb :
عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبَاحٍ اللَّخْمِيِّ يَقُولُ سَمِعْتُ فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ الْأَنْصَارِيَّ يَقُولُ أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِخَيْبَرَ بِقِلَادَةٍ فِيهَا خَرْزٌ وَذَهَبٌ ، وَهِيَ مِنْ الْمَغَانِمِ تُبَاعُ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالذَّهَبِ الَّذِي فِي الْقِلَادَةِ فَنُزِعَ وَحْدَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ. رواه مسلم
Dari Ali bin Rabbāh al-Lakhmī, dia berkata, aku mendengar Fadhālah bin ‘Ubaid Al-Anshāri, dia berkata,”Telah didatangkan kepada Rasulullah SAW sedang beliau tengah berada di Khaibar, sebuah kalung yang mempunyai manik-manik dan emas, yang merupakan ghanimah (harta rampasan perang), yang dijualbelikan. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mencabut emas yang terdapat pada kalung itu, lalu kami mencabut emas itu (dari kalungnya). Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepada mereka,”Emas ditukar dengan emas, harus sama beratnya.” (HR. Muslim, no. 3079).
Dalam hadits di atas, yang diperjualkan oleh para shahabat adalah emas perhiasan, bukan emas sebagai alat tukar (koin dinar), yaitu emas yang terdapat dalam sebuah kalung. Dalam hadits tersebut terdapat hukum syara’ bahwa :
أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُ ذَهَبٍ مَعَ غَيْرِهِ، بِذَهَبٍ، حَتَّى يُفْصَلَ، فَيُبَاعُ الذَّهَبُ بِوَزْنِهِ ذَهَبًا، وَيُبَاعُ الْآخَرُ بِمَا أَرَادَ. شرح الحديث من فـــتح المــــنعم ج 6 ص 327
“Bahwa tidak boleh menjual emas --yang menyatu dengan selain emas (misalkan emas dalam rantai kalung yang bukan emas)-- dengan emas, hingga emasnya dipisahkan, lalu emasnya dijual dengan emas lain yang sama beratnya, dan benda lainnya tadi (yang selain emas) dijual dengan harga yang dikehendaki (pemiliknya).” (Dr. Mūsā Syāhīn Lāsyīn, Fathul Mun’im Syarah Shahīh Muslim, Juz VI, hlm. 327).
Dengan demikian, jelaslah, berdasarkan hadits ini bahwa emas perhiasan itu hukumnya sama dengan emas sebagai alat tukar, yang ketika dipertukarkan (dijualbelikan), wajib harus sama beratnya (waznan bi-waznin). Dengan kata lain, tidak dapat diterima adanya pembedaan bukum, antara emas sebagai komoditi dengan emas sebagai alat tukar (uang).
Kesimpulannya, pendapat sebagian ulama, seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dan ulama kontemporer Rafīq Yūnus Al-Masry, dsb, yang membolehkan jual beli emas secara cicilan (tidak tunai), dengan alasan bahwa emas sebagai komoditi itu beda hukumnya dengan emas sebagai alat tukar, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan nash hadits di atas. Yang benar dan rājih (lebih kuat) adalah sebaliknya, yang merupakan pendapat jumhur ulama, bahwa jual beli emas dalam segala bentuknya, termasuk emas sebagai komoditi dan emas sebagai alat tukar, tidak diperbolehkan secara syariah kecuali secara tunai (yadan biyadin). Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 30 April 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi