0
Home  ›  Opini Umat  ›  Umatizen

MENJAWAB TANTANGAN MASA DEPAN KEADILAN DAN PLURALITAS

 Oleh HM Ali Moeslim (Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah)

Bismillahirrahmaanirrahiim

JIKA diibaratkan usia, maka tahun 2024 ini "berakhir" dengan "syaadus su'ul khatimah" (keadaan akhir sangat buruk), betapa tidak mencengangkan? kita disuguhi "drama" pengadilan yang sangat menjengkelkan, saat terpidana Harvey Moeis divonis 6,5 tahun penjara oleh ketua majelis hakim Eko Aryanto setelah rugikan keuangan negara Rp.300 triliun. Hakim memutus hukuman dengan pertimbangan bahwa terpidana sopan dan tanggungjawab terhadap keluarga.

MENJAWAB TANTANGAN MASA DEPAN KEADILAN DAN PLURALITAS

Di sisi lain kenyataan hidup yang telanjang di depan mata, pelaku maling motor atau ayam yang ketangkap terancam hukuman maksimal 7 tahun sesuai Pasal 362 KUHP, bahkan tidak sedikit belum sampai ke meja pengadilan, sudah "dihakimi" masa, tidak jarang meregang nyawa di TKP, bahkan ada yang sampai mati dibakar masa.

Ini salah satu bukti bahwa kekacauan yang terjadi tidak saja menyangkut penegak hukum atau keadilan, tapi hukum yang diterapkan yakni hukum  KUHP (buatan manusia) warisan Belanda ini mengandung cacat permanen sejak ditetapkan sebagai Undang Undang yang berlaku.

Sesungguhnya kegidak-adilan ini sudah berlangsung sangat lama, sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Sebagian masyarakat yang berfikir, menawarkan alternatif hukum yang dapat memenuhi keadilan, sekaligus menjawab tantangan pluralitas. Di-antaranya, apakah hukum Islam dapat memenuhi keadilan dan menjawab tantangan itu?

Patut dipertimbangkan, salah satu perkara yang sering disodorkan untuk menolak penerapan syariah Islam termasuk perkara hukum pidana adalah adanya non-Muslim di tengah-tengah masyarakat.  Banyak yang mengira jika Islam diterapkan, semua orang harus beralih agama, hak beragama non-Muslim diabaikan? Padahal siapapun yang memahami sejarah Nabi Muhammad SAW akan menolak pandangan seperti itu.

Negara Islam yang dididirkan Rasulullah SAW di Yatsrib (Madînah ar-Rasul atau Al-Madînah al-Munawwarah) terbukti memberlakukan hukum secara sama kepada semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara di dalam sistem negara Islam dikenal sebagai "ahlu dzimmah", yakni penduduk non-Muslim yang menjadi warga negara yang tunduk kepada sistem hukum Islam.

Tentu kita memahami bahwa Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Allah SWT berfirman;

...وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ

"Kami telah menurunkan Kitab kepadamu untuk menelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri" (QS an Nahl 89)

Apakah legislasi dalam Islam mampu menjamin kebaikan, kebenaran, keadilan dan berpihak pada seluruh rakyatnya? Mari kita fahami bahwa Islam berasal dari Allah Yang Maha Adil dan Maha Benar. Dia Allah SWT juga Maha Mengetahui semuanya, yang tampak maupun yang gaib, dahulu, sekarang dan yang akan datang.  Dia Allah SWT tidak perlu harta, kedudukan, jabatan, dan lain sebagaimana manusia. Karena itu semua hukumnya pasti benar dan adil. Ini sebagaimana ditegaskan dalam QS al-An’am ayat 115: 

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًاۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيمُ 

"Telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur'an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui".

Maka wajar jika Islam berpandangan bahwa yang memiliki hak dan otoritas dalam membuat hukum hanya Allah SWT, hak manusia menggali dan menerapkan hukum hukum tersebut.


قُلْ اِنِّيْ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَكَذَّبْتُمْ بِهٖۗ مَا عِنْدِيْ مَا تَسْتَعْجِلُوْنَ بِهٖۗ اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗيَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ

"Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” ( QS al An'am ayat 57)

Oleh karena itu, hukum yang wajib diterapkan adalah yang bersumber dari wahyu, yakni dari al-Quran dan as-Sunnah; serta yang ditunjukkan oleh keduanya, yakni Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i. Dari situlah semua hukum  syariah berasal dan diambil.

Inilah yang bedanya Islam dengan demokrasi secara fundamental. Dalam demokrasi rakyat yang menjadi pemegang kedaulatan dan sumber hukum. Sebaliknya, dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariah. Hukum yang diberlakukan bukan berasal dari manusia, tetapi dari Allah SWT.

Pertanyaan selanjutnya, bisakah produk hukum Islam menjamin pluralitas di tengah masyarakat? Coba kita perhatikan, Sistem hukum pidana Islam, salah satunya tentang Qishas, hukum ini disyariatkan untuk mencegah semua manusia dari tindak kejahatan. Allah SWT berfirman;

وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓــاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

"Dalam hukum qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang berakal, supaya kalain bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 179).  

Maksudnya, terdapat hikmah yang sangat besar dalam hukum Qishash yaitu mejaga jiwa setiap yang namanya manusia. Artinya, orang yang berakal sehat sadar, jika dia melakukan pembunuhan, dia terancam diberi sanksi berupa hukuman mati, maka dia tidak akan berani melakukan pembunuhan. Di sinilah fungsi pencegahan (zawajir), yakni mencegah manusia dari tindak kejahatan.

Begitupula dalam pelaksanaan hukum Islam itu sendiri, Negara Islam yang dididirkan Rasulullah saw. di Yatsrib (Madînah ar-Rasul atau Al-Madînah al-Munawwarah) terbukti memberlakukan hukum secara sama kepada semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Allah SWT berfirman;

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahah: 8).

Rasulullah SAW bersabda,

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا، أَوِ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيْبِ نَفْسٍ، فَأَنَا حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Ingatlah, siapa yang mendzalimi seorang kafir mu’ahad, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat” (HR. Abu Daud,

Prinsif dalam Islam itu semua kejahatan adalah perbuatan tercela (al-qabîh), sedangkan yang tercela (al-qabîh) adalah apa aja yang dicela oleh Asy-Syâri’ (Allah). Ketika syariah telah menetapkan suatu perbuatan itu tercela, maka sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan, tanpa memandang lagi tingkat tercelanya. Artinya, tidak lagi dilihat besar kecil kejahatan. Syariah telah menetapkan suatu perbuatan sebagai dosa (dzunûb) yang harus dikenai sanksi. Jadi dosa itu substansinya adalah kejahatan.


Wallahu a’lam bishawab

Bandung, 31 Desember 2024/29 Djumadil Akhir 1446

Posting Komentar
Cari
Menu
Warna
Bagikan
Additional JS