Al FATIH TIDAK MUNCUL DARI SEKOLAH
"Al Fatih hidup sehari-hari di ujung atau di mata tombak peradaban kekhilafahan. Kenapa mata tombak?, ya, karena ayahnya adalah seorang khalifah yang"
Oleh : Abu Haitsam
Entah sejak kapan, Sultan Muhamad Al Fatih sang penakluk konstantinopel itu mulai populer di negeri kita ini, saya tidak tahu pasti, tapi yang saya dengar pertama kali itu dari ustadz Felix Siauw kira-kira awal tahun 2000-an. Beliau mengisi kegiatan Ramadhan di kampus STTA yang sekarang bernama ITDA Adisutjipto Jogjakarta. Sungguh bersemangat dan lancar sekali beliau bercerita hingga saya mulai kagum pada sosok ini, Sultan Mehmed al Fatih.
Sejak itu kisah sang Sultan muda ini dan kegemilangan penaklukan Konstantinopel terus terglorifikasi. Biografinya terus dikupas, keshalehannya terus jadi pembicaraan, bahkan banyak sekolah-sekolah Islam menjadikannya sebagai benchmark dalam keberhasilan pendidikan. Dan banyak orang menyematkan Al Fatih dalam nama anak laki-laki mereka. Hebat banget kan? fenomenal.
Tak dipungkiri memang jika kita baca biografinya memang layak dijadikan contoh. Meski ada ulama yang menolak perwujudannya sebagai bisyarah nubuwwah, tapi tetap kalah dari besarnya popularitas Al Fatih sebagai wujud bisyarah "ni'mal amiir". Wallahu a'lam.
Lalu, dijadikanlah beliau model keberhasilan pendidikan. Saya coba simpulkan beberapa fakta, dan saya coba tambahkan fakta lain yang saya jarang sekali mendengar dari ceramah-ceramah ataupun tulisan-tulisan tentang Al Fatih. (Sepanjang pengetahuan saya yang masih pendek)
- Mehmed al Fatih memiliki guru-guru yang hebat , itu pasti. Yang paling terkenal adalah Syaikh Aaq Syamsuddin.
- Beliau memiliki orang tua yang hebat, itu pasti, Sultan Murad yang waktu itu adalah khalifah di Daulah Utsmaniyah.
- Beliau mendapatkan pendidikan terbaik, itu pasti, bagaimana tidak, seorang pangeran tentu dididik dengan kurikulum khusus, disiplin tinggi, dan dengan segala fasilitas yang memadai tentunya.
Lalu dijadikanlah role model atau teladan dalam mengembangkan sistem pendidikan ; guru yang qualified, parent yang hebat, dan pendidikan yang unggul dengan harapan membentuk Al Fatih - Al Fatih berikutnya. Oke lah harapan yang luhur I think. Tiga hal ini sangat mungkin untuk diwujudkan hari ini.
Tapi ada satu fakta, yang jarang dinarasikan lisan maupun tulisan terutama di lingkungan pendidikan. Yaitu; "Mehmed Al Fatih hidup dan besar dalam lingkungan politik yang sehat". Oke saya ulang kalimat ini; "lingkungan politik yang sehat". Rasanya masih kurang representatif diksi ini, sehingga perlu saya tambahkan "lingkungan politik yang sangat sehat". Gimana itu maksudnya. Begini...
Al Fatih hidup sehari-hari di ujung atau di mata tombak peradaban kekhilafahan. Kenapa mata tombak?, ya, karena ayahnya adalah seorang khalifah yang mengemudikan peradaban (baca: Islam) dengan terus memimpin umat dengan dakwah dan jihad. Ibarat pesawat tempur, maka sultan Murad adalah pilotnya, duduk di ruang kokpit atau flight deck pesawat tempur tersebut dan di samping beliau adalah Syaikh Aaq Syamsuddin, ulama yang sekaligus negarawan dan ikut memandu dari flight deck tersebut. Beliau bukan cuma seorang guru hebat, tapi juga negarawan yang ikut menentukan keputusan politik sang khalifah ibarat co pilot yang ikut memandu arah pesawat. Dan setiap tindakan sang khalifah adalah keputusan politik yang sangat berpengaruh bagi umat secara luas.
Mehmed Al Fatih bukan hanya penumpang pesawat, tapi ikut duduk di ruang kokpit itu. Tahu arah politik peradaban Islam, menyaksikan daulah bergerak melawan kekufuran, menyelamatkan umatnya, dan meluaskannya demi menyebarkan cahaya Islam. Dia faham betul bagaimana sang ayah membuat tiap keputusan politiknya. Dan kondisi itu tentu mengharuskannya hidup dalam disiplin militer yang sangat tinggi. Sehingga dia terasah dalam kesadaran politik dan kepekaannya yang tinggi. Inilah yang dimaksud dengan lingkungan politik yang sehat.
Fakta ini tidak bisa diwujudkan di sekolah dan dunia pendidikan. Sebagus apapun sistemnya. Karena sekolah tidak akan mampu mengkondisikan lingkungan politik sama sekali, karena bukan tabiatnya. Sekolah akan terus mengikuti keputusan politik bukan melakukan tindakan politik. Anak didik tidak tahu dan tidak merasakan secara langsung arah politik kecuali sebatas normatif dan teori. Ditambah lagi hari ini, negeri-negeri muslim berada dalam arah politik yang salah. Mereka berjalan dalam panduan dan SOP sistem Barat kapitalis yaitu demokrasi dan nation state. Sungguh sakit parah kondisi politik umat Islam hari ini. Dan kaum muslimin sedang jauh dari kewarasan pandangan politiknya.
Dan I think sebagus apapun kita mengkonsep pendidikan hari ini, tidak akan mampu melahirkan the next Al Fatih, ataupun Shalahuddin, karena mereka bukanlah produk sekolahan, mereka adalah produk peradaban dalam kondisi politiknya yang waras dan sehat. Shalahuddin adalah mata tombak umat Islam di era perang salib ke-3, dan hidup dengan misi politik yang lurus, terbimbing langsung di samping Imaduddin Zanki dan putranya Nuruddin Zanki dalam disiplin perang yang sangat tinggi.
Lalu sekarang, tentu realitas yang dimiliki Al Fatih dan Shalahuddin tidak sama dengan kita. Tapi sifatnya sebenarnya sama dan bisa diwujudkan di benak para pemuda.
Benturan politik Islam versus Barat kapitalis yang sedang terjadi secara sengit sekarang ini adalah kondisi yang seharusnya menyuburkan kesadaran politik. Generasi muslim tentu harus dididik, difahamkan, dan dilibatkan secara langsung dalam gerak politik yang benar dengan disiplin berjama'ah yang tinggi. Ketika kesadaran politik terinstall dan mereka terasah dengan perjuangan dan beratnya tantangan maka the next Al Fatih akan muncul. Biidznillah.
#WallahuA'lam
#seriTarbiyatuna