0
Home  ›  Hukum  ›  Nasional

Rencana Bentuk Tim Hukum Nasional, Pemerintah Berpotensi Abuse of Power

"Pembentukan Tim Hukum Nasional, Pemerintah Berpotensi Abuse of Power"

Rencana Bentuk Tim Hukum Nasional, Pemerintah Berpotensi Abuse of Power
Umatizen - Baru-baru ini, Menko Polhukam Wiranto menegaskan pemerintah tak takut dengan tuduhan miring. Wiranto yang memimpin rapat koordinasi bersama jajaran elite TNI, Polri, Kemendagri, Kemenkominfo, dan Kemenkum HAM, Senin (6/5/2019), dalam sambutannya saat membuka rapat berbicara mengenai langkah tegas yang akan diambil pemerintah kepada para pelanggar hukum.

Para pengadu domba, pihak yang suka berbicara tanpa bukti, dan penyebar hoax di media sosial diamati dengan saksama oleh pemerintah. Jika telah ditemukan bukti pelanggaran hukumnya, aksi tegas akan diambil tanpa keraguan.

"Langkah, tindakan hukum, dan apa yang kita lakukan, dengan demikian ini nanti merupakan hasil rapat koordinasi bukan lagi digubris sebagai kesewenang-wenangan pemerintah. Bukan itu sebagai kesewenang-wenangan TNI, Polri, kita bukan lagi dituduh sebagai langkah-langkah diktatorial pemerintah, bukan. Karena itu diembuskan supaya kita takut mengambil langkah-langkah itu, dan kita tidak takut," ujar Wiranto.

Dalam hal ini, Wiranto ingin Kemenkominfo bertindak tegas terhadap akun-akun yang mendorong pelanggaran hukum.

"Media mana yang nyata-nyata membantu melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum kalau perlu kita shutdown kita hentikan. Kita tutup nggak apa-apa demi keamanan nasional, ada UU, ada hukum yang mengizinkan kita untuk melakukan itu. Sekali lagi ini demi tegaknya NKRI demi masyarakat yang ingin damai masyarakat mendambakan kedamaian untuk Indonesia," imbuhnya.

Hal itu disampaikan Wiranto sehubungan dengan adanya pihak-pihak yang dituding sengaja ingin memecah belah dengan menghasut masyarakat melawan pemerintah. Isu Pemilu Serentak ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, masif dan brutal terus dihembuskan. Bahkan, Wiranto mengklaim sudah mendapatkan informasi banyak dari berbagai pihak tentang adanya pihak-pihak tertentu yang pada bulan suci Ramadhan ini terus melakukan kegiatan-kegiatan yang menebar Ujaran Kebencian, fitnah, hasutan-hasutan, ajakan-ajakan yang inkonstitusional untuk memecahbelah kesatuan dan kesatuan bangsa.

Alhasil, rapat koordinasi tersebut salah satunya memutuskan adanya rencana membentuk tim hukum nasional yang akan mengkaji ucapan, tindakan, pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu, yang disebut nyata-nyata melanggar dan melawan hukum.

Pembentukan Tim Hukum Nasional ini menurut hemat penulis berpotensi abuse of power. Penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:

Pertama, Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.

Kedua, Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya. Dan ketiga, Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penyalahgunaan wewenang adalah penggunaan wewenang oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan dengan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Publik tentu dapat menilai, rapat koordinasi di bidang politik, hukum dan keamanan yang dipimpin Wiranto ini tak lepas dari adanya dinamika politik nasional mutakhir. Berbagai temuan kecurangan Pemilu yang disebut banyak kalangan sebagai kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif disebut telah memicu bergulirnya wacana people power.

Awalnya, Pemerintah mempersoalkan wacana people power ini sebelum akhirnya, Kastaf Kepresidenan Moeldoko menyebut people power konstitusional sepanjang dalam rangka untuk menjalankan kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat sebagaimana aksi kampanye dukungan kepada Jokowi Ma'ruf di GBK, beberapa waktu yang lalu. Tentu saja, pembatasan kreteria ini tidak menutup arus aspirasi publik pada wacana people power yang semakin membuncah, terlebih setelah diketahui banyaknya temuan kecurangan pemilu yang begitu brutal di berbagai wilayah.

Beberapa kasus kriminalisasi terhadap ulama, termasuk terhadap Gus Nur turut menyulut amarah publik untuk menggaungkan semangat perlawanannya. Bahkan, hingga beberapa ulama rezim menyerukan umat untuk rehat selama bukan suci Ramadhan, tak juga membuat umat berhenti untuk berjuang menyuarakan perlawanan terhadap kezaliman.

Selain wacana people power, ditengah wacana publik juga bergulir isu state in emergency. Apa yang digelorakan oleh Moeldoko sebagai 'perang total' saat kampanye telah menimbulkan praduga publik tentang sejumlah rencana jahat rezim untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan kemenangan.

Kemungkinan rezim menyatakan negara dalam keadaan darurat, potensi pemerintahan Jokowi - JK menerbitkan Perppu kedua, setelah Perppu pertama digunakan untuk mencabut BHP HTI sempat bergulir. Namun, wacana ini keburu diketahui dan dihantam publik dengan berbagai kritik sehingga kehilangan legitimasi dan relevansi untuk dieksekusi.

Wacana people power memang sangat menghantui rezim, sebab hanya gerakan rakyat yang dianggap mampu mengungkap kecurangan pemilu yang ada. Saluran aspirasi, saluran hukum yang ada baik melalui Bawaslu, KPU bahkan hingga ke MK dinilai tidak memiliki kemampuan dan daya eksekusi untuk menegakan hukum secara adil dalam mengadili sengketa politik dan kecurangan Pemilu yang ada.

Psikologi umat sudah sampai pada tahap kemarahan akut, sebagaimana umat pernah marah pada kasus penistaan agama oleh Ahok dan merasa kecewa dengan sistem dan aparat penegak hukum yang ada sehingga perlu melakukan 'gerakan massa' untuk memaksa hukum berjalan diatas relnya.

Kondisi kecurangan pemilu saat ini, telah sampai pada suasana kebatinan yang sama. Ketidakpercayaan pada sistem dan Pranata hukum yang ada, membuat umat mencari jalan alternatif melalui people power yang diakui, sah dan legal menurut konstitusi.

Nampaknya rezim Jokowi benar-benar kewalahan. Bahkan, salah satu anggota TKN Inas Jubir dari Fraksi Hanura secara terbuka mengungkap rencana aksi Fight Power untuk melawan gerakan People Power. Sebuah istilah jumawa dan merupakan simbol kekuasaan yang represif dan zalim.

Jika benar rezim Jokowi menghargai puasa Ramadhan, ingin merajut sulam pada tenunan kain kebangsaan, tentulah tidak akan menghadapi aspirasi rakyat yang berbeda dengan ujaran represif. Kejumawaan kekuasaan, tidak boleh dipertontonkan kendati kritikan umat begitu tajam dan mendalam.

Alih-alih menebar kedamaian dan mengungkap permohonan maaf pada bulan suci Ramadhan ini, Pemerintah melalui Wiranto justru mendeklarasikan suasana genting, suasana 'perang', suasana yang dianggap merespons berbagai fitnah dan kritikan tetapi justru mengunggah suasana kegelisahan dan amarah ditengah umat.

Rencana pembentukan Tim Hukum Nasional dapat dipahami sebagai 'pernyataan semi Kegentingan'. Hanya saja, Wiranto tak mau terbuka menyatakan negara dalam keadaan genting sehingga negara memiliki argumentasi untuk menerbitkan peraturan Pemerintah pengganti undang-undang.

Dalam Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk ke Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terdiri atas:
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Secara nomenklatur, kebijakan pembentukan Tim Hukum Nasional tidak ada rujukannya dalam hierarki perundangan. Namun melihat substansi pekerjaan tim, penulis menduga tim ini akan menjadi dasar legitimasi bagi Pemerintah untuk mengambil sejumlah tindakan hukum yang tak wajar. Pembentukan Tim Hukum Nasional ini mirip pembentukan Perppu untuk membuat sejumlah kajian dan rekomendasi, untuk melegitimasi sejumlah tindakan hukum Pemerintah untuk melawan dan meredam kritikan dan kontrol publik terhadap jalannya roda pemerintahan.

Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan, serta sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan. Tugasnya Menyinkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan.

Namun, apa yang dinyatakan Wiranto sebenarnya merupakan pekerjaan biasa bagi aparat penegak hukum. Jika persoalannya adalah masalah maraknya dugaan perilaku kejahatan melalui dunia sosmed, Wiranto dapat langsung mendorong Polri dan kejaksaan untuk menertibkannya, dengan mekanisme Due proces of Law yang telah ditetapkan oleh UU.

Selama ini tanpa membentuk Tim Hukum Nasional, kinerja kepolisian, kemenkoinfo dan sejumlah lembaga terkait telah mengambil tindakan serius untuk memerangi apa yang disebut Wiranto sebagai 'hoax' fitnah dan adu domba. Jadi, nampaknya rezim telah lebih dahulu menghalau people power dengan menerbitkan 'Perppu Terbatas ini' yang melibatkan sejumlah ahli hukum untuk berhimpun dalam Tim Hukum Nasional sebagai dasar legitimasi.

Tidak perlu heran, jika dalam waktu dekat dugaan penulis akan banyak kasus yang menjerat aktivis, ulama, dan siapapun yang kritis terhadap rezim. Berbagai perkara yang mandek karena komitmen politik, bisa digoreng lagi untuk menekan arus pergerakan umat.

Pasal-pasal ITE khususnya pasal 28 ayat (2), pasal 27 ayat (3), pasal hoax baik merujuk pasal 14 dan/atau pasal 15 UU No 1 tahun 1946, pasal-pasal makar KUHP, pasal Tipikor untuk lawan rezim yang berkelindan di partai oposisi, tidak lama lagi akan marak digulirkan. Akan banyak sejumlah aktivis ditersangkakan, sejumlah akun sosmed dimatikan, dan berbagai tindakan lain yang membungkam kritisme publik.

Penulis kira tindakan semacam inilah yang justru tidak elok dilakukan di bulan suci Ramadhan. Pemerintah bukannya mengulurkan tangan untuk membuka ruang dialog bersama umat, di bulan yang suci ini Pemerintah justru secara terang-terangan membuka Front dan membuat polarisasi ditengah masyarakat.

Lantas, siapa yang salah ? Apakah umat ini dipaksa terus diam, meskipun dizalimi ? Apakah sikap kritis umat ini akan dilabeli terus memecah belah ? Apakah tafsir menjaga persatuan itu wajib taklid buta pada kebohongan Jokowi ?

Jika cara-cara semacam ini diteruskan, penulis melihat Pemerintah sangat berpotensi abuse of power. Penyalahgunaan wewenang untuk mengelola dan mengkoordinasi bidang politik, hukum dan keamanan demi menjaga keamanan negara telah bergeser menjadi alat dan sarana untuk menjaga kekuasaan rezim Jokowi. [].

Sumber : Ahmad Khozinudin, S.H. (Ketua LBH. Pelita Umat)
- Catatan Hukum Rencana Pemerintah Dalam Pembentukan Tim Hukum Nasional
Posting Komentar
Cari
Menu
Warna
Bagikan
Additional JS