Menkopolhukam Merusak Tatanan Konstitusi Negara?
"Menkopolhukam Merusak Tatanan Konstitusi Negara?"
Umatizen - Belum lama ini Pemerintah melalui Kemenkopolhukam berencana membentuk Badan Hukum Nasional yang bertujuan untuk mengkaji tokoh yang melanggar hukum pasca-pemilu. Tim hukum ini akan mengkaji semua ucapan, pemikiran, dan tindakan tokoh yang melanggar hukum.
Pada Selasa (7/5) Wiranto menyebut nama sejumlah tokoh hukum untuk terlibat didalamnya. Nama Prof Romli Atmasasmita, Prof Muladi dan Prof Mahfud MD disebut akan terlibat dalam tim hukum bentukan Wiranto.
Namun secara ketatanegaraan, nomenklatur Tim Hukum Nasional ini tidak dikenal dalam konstitusi dan perundangan, baik secara ad hock maupun permanen. Jelas, lembaga yang menjalankan tugas kenegaraan tetapi tidak memiliki payung hukum yang jelas, akan mendapat persoalan terkait legitimasi secara hukum dan ketatanegaraan.
Wiranto sendiri mengakui, lembaga yang dibentuk ini tidak mengganti lembaga hukum yang lain. Dirinya menegaskan bahwa Tim Hukum yang dibentuk hanyalah satu tim perbantuan para pakar hukum untuk membantu kantor Kemenko Polhukam untuk meneliti, mencerna, mendefinisikan kegiatan-kegiatan yang sudah nyata-nyata melanggar hukum.
Lembaga bentukan Wiranto ini selain secara formal tidak memiliki kedudukan dan legitimasi konstitusi, secara substansial lembaga ini berpotensi disalahgunakan menjadi alat politik untuk membungkam sikap kritis publik khususnya para tokoh. Selain itu, keberadaan fungsi Tim Hukum bentukan Wiranto ini akan memandulkan, menegasikan, atau bahkan akan bertentangan dengan kinerja lembaga formal yang telah dibentuk berdasarkan konstitusi untuk menegakan hukum.
Jika persoalannya adalah ada tidaknya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh tokoh, baik melalui lisan atau tindakan nyata, maka negara seharusnya mencukupkan lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kejaksaan Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan dan melanjutkannya dengan proses penyidikan, jika ditemukan cukup bukti. Apabila dibutuhkan pakar hukum, maka kedudukan pakar hukum tersebut hanyalah ahli yang memberikan keterangan berdasarkan keahliannya sehubungan dengan adanya perkara yang sedang diselidiki atau disidik oleh kepolisian atau Kejaksaan Negara Republik Indonesia.
Adalah keliru besar jika para pakar hukum dimaksud justru dikumpulkan dalam satu tim yang disebut dengan Tim Hukum Nasional untuk meneliti dan mengkaji semua ucapan, pemikiran, dan tindakan tokoh. Bukankah ini kegiatan yang melanggar hukum ? Bukankah ini sama saja mengadu domba para pakar hukum dengan tokoh ? Bukankah ini lebih mirip tindakan memata matai kegiatan tokoh ?
Padahal, asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) harus dikedepankan. Mengkaji tindakan tokoh diluar prosedur hukum sama saja melakukan pelanggaran hukum.
Semestinya Wiranto lebih mengintensifkan kinerja Kepolisian R.I. dan Kejaksaan R.I. sebagai lembaga penegak hukum yang sah, legal dan konstitusional dibentuk untuk menjalankan proses penegakan hukum. Tindakan pro justisia tidak boleh diambil oleh lembaga non pro justisia.
Sebaiknya Pemerintah membatalkan rencana pembentukan Tim Hukum Nasional ini karena secara nomenklatur dan substansi tidak dikenal dalam tata perundangan dan tata kenegaraan sebagaimana diatur oleh konstisusi. Kepada para pakar dan tokoh hukum, sebaiknya juga menolak untuk terlibat dalam tim bentukan Wiranto ini karena pasti akan berhadap-hadapan dengan rakyat.
Kalaupun ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh tokoh maka prosesnya ditentukan berdasarkan proses pro justicia, bukan didahului atau berdasarkan atas keputusan dari kajian Tim Hukum Nasional bentukan Wiranto. Karenanya, menurut hemat penulis Tim Hukum Nasional yang akan dibentuk ini memiliki 4 (empat) kesalahan :
Pertama, Tim Hukum Nasional menyerobot fungsi penegakan hukum yang itu berada dibawah kendali kepolisian dan kejaksaan.
Kedua, Tim Hukum Nasional mengambil alih tafsir kesalahan secara substansi dari Due Proces of Law, menjadi hak otoritatif Tim Hukum Nasional.
Ketiga, Tim Hukum Nasional berpotensi mengadu domba dan memecah belah antara pakar hukum yang terlibat dalam Tim Hukum Nasional dengan para tokoh yang dikaji perkaranya.
Keempat, Tim Hukum Nasional berpotensi penyalahgunaan kewenangan dan berubah menjadi alat politik, sarana untuk melindungi kekuasaan rezim Jokowi dari kritikan publik khususnya kritisme para tokoh. Dan hal ini, adalah hal yang paling merugikan kepentingan berbangsa dan bernegara.
Sudah sepatutnya Pemerintah di bulan suci Ramadhan ini menyudahi segala kontroversi yang tidak penting, dan berusaha untuk membuka telinga agar dapat banyak mendengar keluhan dan aspirasi rakyat. Menjalankan kekuasaan secara represif memang bisa melindungi diri dari kejatuhan politik, tetapi tak akan aman dari Indelegitimasi.
Kekuasaan tanpa kepercayaan rakyat, kekuasaan tanpa mandat rakyat, sejatinya secara substansi telah runtuh meski pilar formalnya masih berdiri kokoh. Sederhana saja, aspirasi rakyat ini ingin perubahan, marah terhadap kecurangan, penindasan dan kezaliman, jadi cobalah belajar bijak dan mendengar. [].
Sumber : Ahmad Khozinudin, S.H. (Ketua LBH. Pelita Umat)
- Catatan Hukum Rencana Pembentukan Tim Hukum Nasional Kemenpolhukam