KPK Wajib Dalami Keterangan Ending Fuad Soal Pemberian Uang Muktamar NU
"KPK Wajib Mendalami Keterangan Ending Fuad Soal Pemberian Uang Muktamar NU"
Umatizen - Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta (29/4/2019), Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy mengakui kebenaran adanya pemberian uang untuk Muktamar Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur. Menurut Hamidy, pemberian uang pinjaman tersebut disaksikan langsung Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Masih menurut Hamidy, pada saat itu dia pernah diajak oleh Sekretaris Menpora, Alfitra Salam untuk menghadiri Mukatamar NU di Jombang. Alfitra juga meminjam uang Rp 1,5 miliar untuk digunakan Menpora dalam kegiatan NU.
"Alfitra bilang, Pak besok ada enggak waktu, kita refreshing ke Jombang, Surabaya. Beliau agak memohon. Lalu saya ke Surabaya berdua," kata Hamidy.
Menurut Hamidy, sejak awal dia sudah memberitahu Alfitra bahwa KONI tidak memiliki uang Rp 1,5 miliar. Namun, KONI akan memberikan sebesar Rp 300 juta.
Sebelum berangkat ke Jawa Timur, uang sejumlah Rp 300 juta dititipkan kepada Wakil Bendahara KONI Lina Nurhasanah. Hamidy kemudian meminta Lina datang membawa uang Rp 300 juta.
Keterangsn ini tidak menyendiri, Keterangan Hamidy berkesesuaian dengan BAP Saksi Lina. Dalam BAP-nya, Lina menceritakan pada 2016, saat Muktamar NU Jombang, ia dititipi uang sekitar Rp 300 juta oleh Hamidy. Dia kemudian diinstruksikan agar membawa uang tersebut ke Surabaya dan menyerahkannya kepada Fuad dan Alfitra. Saat itu, Muktamar NU dihadiri Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi.
Sementara itu terpisah, Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-Undangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas membantah adanya dana Rp 300 juta yang dikirim untuk Mukhtamar NU di Jombang. Robikin menilai keterangan Lina itu mengada-ada.
Menurut Robikin, keterangan Lina pun tidak cocok dengan pelaksanaan Muktamar NU di Jombang yang berlangsung pada 2015.
"Menurut berita media melansir keterangan saksi Lina, uang Rp 300 juta yang dimaksudkan adalah di tahun anggaran 2016. Sedangkan, Muktamar Jombang adalah tahun 2015. Jadi, dari segi waktu itu tidak make sense," katanya (26/4).
Hanya saja Keterangan Fuad Hamidy ini bukan sekedar keterangan yang diberikan ke media massa, pengakuan kepada publik, atau curhatan di sosial media. Keterangan Fuad soal pemberian sejumlah uang dalam acara Muktamar NU ini adalah keterangan resmi yang disampaikan dalam sebuah forum persidangan yang terbuka untuk umum.
Keterangan ini sangat penting, mengingat Pasal 185 KUHAP, menyatakan :
"Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan".
Jika keterangan ini sebatas hasil BAP, tentu penyidik KPK masih dapat mengabaikan, apalagi jika keterangan itu pada akhirnya dicabut dalam persidangan. Faktanya, keterangan ini telah dicatatkan dalam BAP saksi Lina, kemudian dibenarkan oleh keterangan Fuad Hamidy dalam sebuah persidangan resmi yang terbuka untuk umum.
Karena itu, KPK wajib mendalami keterangan Ending Fuad Hamidy soal aliran dana ke Muktamar NU dengan beberapa pertimbangan :
Pertama, pada umumnya kejahatan korupsi selalu dilakukan melalui kolusi (persekongkolan) yang dilakukan secara kolektif dan kolegial. Kejahatan korupsi tidak mungkin berdiri sendiri, ada rentetan peristiwa yang mengaitkan beberapa pelaku aktor kejahatan korupsi, termasuk penerima aliran dana hasil kejahatan korupsi.
Kedua, karena pelaku tidak mungkin sendiri, penyidik KPK bisa mengejar pelaku lain dan menetapkannya sebagai Tersangka, baik berdasarkan kekuatan dasar pasal mandiri atau atas kekuatan hukum kejahatan perbantuan yakni turut serta melakukan kejahatan korupsi baik dengan menyuruh lakukan, ikut serta atau membiarkan terjadinya kejahatan korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ketiga, KPK dapat pula secara paralel menerapkan ketentuan UU TPPU terkait adanya dugaan upaya melakukan pencucian uang hasil korupsi. Aliran dana korupsi KONI ini wajib ditelusuri dari hulu hingga hilir.
Penyidik bisa menerapkan Pasal 5 UU Tipikor, yang menyebutkan :
"Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
Keempat, proses penyelidikan lebih lanjut atas dugaan uang hasil kejahatan korupsi KONI yang menurut keterangan Fuad Hamidy ada uang yang mengalir untuk acara muktamar NU ini untuk memastikan secara hukum kebenarannya. NU bisa membantah dan mengklarifikasi secara hukum, melalui tindakan hukum pro justisia bukan sekedar keterangan pers.
Proses penyelidikan lebih lanjut ini juga bisa dijadikan sarana legal formal bagi NU untuk membersihkan nama baik dari seluruh praduga secara hukum. Jika tidak dilakukan, khawatir publik akan membenarkan keterangan Ending Fuad Hamidy, Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang memberi keterangan adanya pemberian sejumlah uang untuk Muktamar Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur.
Karena itu nampaknya KPK perlu bekerja ekstra untuk mengurai benang kusut korupsi ditubuh KONI. KPK perlu menuntaskan kasus, mengingat korupsi adalah kejahatan ekstra ordinary, kangker ganas yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. [].
Sumber : Ahmad Khozinudin, S.H. (Ketua LBH. Pelita Umat)